Jumat, 06 Maret 2015

Kembali ke 'Bintang Biru di Bawah Purnama'

Pagi ini, tiba-tiba aku teringat pada cerita pendek pertama yang kubuat. Tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2006. Iya, kurang lebih hampir 9 tahun yang lalu! Saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMP. Menulis sudah menjadi sahabatku dalam menumpahkan perasaan dan imajinasi yang kadang aneh dan entah dari mana ada dalam kepalaku. Sebelumnya, sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku pun suka sekali menulis cerita. Aku sering menitipkan hasil tulisan tanganku pada bapak setiap kali beliau akan berangkat kembali ke Jakarta, bekerja di sana. Iya, aku dan mama tetap tinggal di kampung kami sementara bapak bekerja dan pulang paling tidak setiap bulan sekali.
Baik, jadi cerita ini berawal saat aku membaca sebuah buku cerita yang ditulis oleh Gola Gong. Aku sudah lupa judulnya, hehehe. Aku suka dan kagum sekali pada cara beliau menceritakan suatu keadaan yang ada dalam pikirannya, hingga memberi gambaran jelas pada pembaca, seperti sedang mengalami keadaan yang sama, bersama penulis atau bahkan merasa sebagai penulis itu sendiri, yang mengalami cerita.
Saat itu pukul dua siang. Aku baru pulang dari sekolah, dan berniat melanjutkan membaca. Aku meminjam buku itu dari perpustakaan sekolah pada jam istirahat kedua. Selesai dengan beberapa judul cerita, aku benar-benar mulai membayangkan sesuatu. Aku sungguh ingin menulisnya. Kemudian, aku teringat sebelumnya bahwa aku pernah menonton sebuah film cerita ilmiah tentang ruang angkasa dan alien. Maka jadilah, imajinasi pun menari-nari dalam pikiranku : suasana pantai, bertemu alien, seorang gadis manis yang kesepian dan pemuda tampan yang misterius. Sempurna.
Di kamarku dengan berukuran 2,5m x 2,5m itu, dengan cahaya matahari memulai sore yang menembus jendela kamar, aku memulai cerita pertamaku, di mana aku meninggalkan tema anak-anak dan mulai merambah pada dunia remaja. Asmara :)
Inilah hasilnya (tulisan asli tanganku di lembaran kertas folio yang aku klip rapi, kusimpan selama hampir 9 tahun ini dengan baik) :



Pada tahun 2009, ada lomba menulis cerpen yang begitu menarik bagiku. aku pun mencoba mengirimkan Bintang Biru di Bawah Purama, karena temanya sesuai : Remaja. Sayang, cerpenku tidak lolos. hehehe.
kemudian pada tahun 2013, ada lomba serupa. Aku kali ini mencoba lagi peruntunganku, namun aku mengedit ceritaku, terutama pada bagian pertemuan kedua tokoh utama. Aku tidak mengubah banyak bahasa ceritaku karena entah bagaimana, aku cukup puas dengan bahasa cerita itu, padahal saat menulisnya aku masih anak SMP, masih bau kencur tentang dunia menulis cerita, dan itu pun baru belajar. Otodidak.
Tapi sayang, lagi-lagi naskahku tidak mendapat apa-apa. Mungkin ceritaku terlalu mengada-ada. Mungkin imajinasi ini terlalu tidak mungkin, bahkan pada akhirnya aku tahu bahwa tidak ada makna dan amanat moral yang aku selipkan pada cerita itu! Iya, akhirnya kusadari bahwa Bintang Biru di Bawah Purnama benar-benar sekedar cerita, imajinasi, melawan logika dan tentu tidak benar. Sungguh, ini hanya sebuah cerita, hasil imajinasi seorang anak SMP yang keranjingan menulis isi otak kecilnya. hihihi.
Jadi, suatu hikmah yang kemudian aku eja adalah bahwa... Sebaiknya, apa yang kutulis itu memiliki makna. Sayangnya, selama hampir bertahun-tahun hingga aku duduk di bangku SMA, aku masih suka menulis cerita yang muncul dari imajinasiku. Hanya cerita. Tapi aku menyukainya. Ada kepuasan tersendiri saat menumpahkan isi kepala. Dan ada kesenangan lain, yaitu saat beberapa teman yang kuminta membaca ceritaku, mereka cukup terhibur, kagum, dan ada yang mengatakan bahkan tidak terpikirkan sampai apa yang aku imajinasikan! hehehe...

Jadi itulah tulisanku dulu : hanya cerita, penghibur semata.
Inilah hasil editan Bintang Biru di Bawah Purnamaku. Selamat membaca, semoga terhibur :)

Bintang Biru di Bawah Purnama

Saat ini, aku sedang memandang lepas ke lautan, menatap horizon yang siap menelan habis sang mentari. Sendiri di sudut teluk, terpisah oleh serumpun karang, dari keramaian kampung nelayan dan sampan-sampan. Sore hari diiringi nyanyian pantai dari camar-camar yang beterbangan di atas sana, dan dihiasi perahu-perahu nelayan yang mulai lepas dari sandaran. Ditemani hamparan pasir tempatku berdiri, masih kupandangi indahnya cakrawala senja. Kubiarkan ombak membelai kakiku. Langit barat yang bagai layar raksasa mulai berwarna jingga, kuning, biru dan abu-abu. Senja hari akan berganti malam. Kunikmati desir angin sore yang membelai rambutku, dan deburan ombak yang berirama syahdu.
Rona jingga bersemu merah dan kemudian berganti biru kelam. Bulan naik tahta, setelah mentari benar-benar tumbang dilahap kaki langit, hanya pancaran sinarnya yang mencoba berteriak, menembus garis horison, mengharap uluran tangan awan. Aku menghela napas panjang. Sambil menunggu datangnya ribuan bintang yang akan menemani bulan, kupejamkan mata, kemudian terbang, terjun dan menyelam kembali ke samudera sebuah kenangan. Kenangan tentang indahnya langit petang hari di pantai ini, tiga tahun silam. Saat itu, aku menatap sinar kebiruan sebuah bintang di ufuk barat. Sebuah bintang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia seolah menatapku kembali dari bawah bulan yang anggun purnama sempurna.
***
Ketika masih kagum memandangi bintang yang bersinar kebiruan itu, sebuah benda angkasa bercahaya melesat cepat seolah dari bintang biru itu ke arah selatan. Mataku terpukau dan mengejar arah lari benda itu. Bintang jatuh. Tapi, bintang jatuh pada senja hari adalah hal yang tidak biasa di teluk ini. Biasanya, bintang berjatuhan saat menjelang tengah malam hingga dini hari. Lalu benda angkasa bercahaya yang melesat itu pun hilang ditelan horizon.
Aku kembali memandang laut lepas, kembali menikmati suasana pantai petang hari. Lalu tiba-tiba kulihat air di hadapanku surut. Jauh, seperti terhisap kekuatan yang besar. Kemudian, aku merasakan bahwa hamparan pasir mulai bergetar. Aku diserang rasa takut yang mulai merambat dan memuncak seiring suara gemuruh ombak yang tiba-tiba bergulung riuh meraksasa dari arah lautan. Aku berlari menuju perkampungan, seperti para nelayan yang tadi bercengkrama di atas pantai bersama sampan dan jala mereka.
***
Aku membuka mata. Langit telah hitam, sunset sudah usai. Tapi aku masih ingin mencurahkan rindu pada teluk ini. Sebab, aku tak tahu lagi kapan bisa menikmati indahnya sunset di sini. Sunset saat langkah-langkahnya di hamparan pasir tak terhapus ombak mengalun. Saat suaranya sehalus irama ombak menyanyikan lagu pesisir, dan tatapan matanya menyinar sesejuk cahaya purnama di malam kelam. Di atas sana, bulan sabit, bukan purnama. Maka, harapanku pupus untuk menemukan bintang biru itu. Aku redam kembali kerinduan yang merajam hati. Tentang irama langkah ombak, dan sejuk tatapan purnama. Ngilu menusuk palung hati.
***
Sejenak setelah peristiwa itu, Semuanya terasa seperti biasa lagi. Ketika media dan para ahli hiruk pikuk memberitakan isu-isu dan berbagai dugaan penyebab peristiwa tempo hari yang tidak kupahami, aku lebih memilih hiruk pikuk bersama paman dan bibi serta nelayan lainnya di pantai, bercanda dengan jala dan sampan, mencuci ikan hasil tangkapan kami. Kami kembali pada rutinitas harian kami. Para nelayan sesepuh pun yakin, apapun yang terjadi tempo hari tak akan berbahaya. Hanya ‘kunjungan’, demikian kata mereka.
Seperti biasanya setiap malam, aku kembali duduk di hamparan pasir yang agak jauh dari keramaian pantai ini. Menyendiri di sudut teluk, menikmati lagu pantai. Aku bercerita kepada laut, aku berbagi pada langit. Aku yakin mereka bisa menyimpan kisah manusia sampai kapanpun dalam biru kelam mereka saat malam. Sebaik mereka menyimpan rahasia-rahasia mereka dalam keabadian diam. Dan bintang-gemintang menjadi saksi bahwa bulan menyimak kisah hidup dalam bijak sinarnya yang terang indah dan mendamaikan.
Aku terpejam, saat sekali lagi angin bertiup memainkan rambut panjangku. Debur ombak menggoda hamparan pasir yang berlari ke tepian, namun kemudian seolah mengejar ombak saat ia mengundurkan diri kembali ke peluk lautan. Aku hirup napas laut, aku hisap udara pantai.
Dan saat aku membuka mata.....
Sesuatu tergeletak di hamparan pasir tak jauh dari hadapanku. Tubuh. Tertelungkup, wajahnya tergolek ke samping. Tak bergerak. Mungkin dia adalah korban peristiwa kemarin malam. Aku berlari mendekatinya, berusaha melihat keadaannya, melihat secara dekat apakah masih ada tanda-tanda kehidupan.
Wajahnya yang basah tampak pucat seperti mendungnya langit pagi hari, alisnya tebal hitam, hidungnya tinggi, bibirnya terkatup keunguan, kedinginan. Lalu kulihat rambutnya yang hitam legam. Pakaiannya yang keperakan menutup seluruh tubuh, dari pergelangan tangan, hingga mata kaki. Tangannya memakai sarung dan kakinya bersepatu. Arloji di pergelangan tangannya memiliki lampu kecil yang berkelip-kelip cahaya biru. Aku tak melihat sobekan pada pakaian atau luka pada wajah dan kepalanya. Tapi aku tak bisa menjamin tak ada lebam di tubuhnya. Mungkin ada.
Aku segera menariknya ke hamparan pasir yang lebih tepi, lalu berusaha lagi mencari tanda-tanda kehidupan padanya. Napasnya, detak jantungnya, denyut nadinya, tak ada. Tapi bagaimana pun, aku harus segera menuju keramaian pantai untuk meminta bantuan, mungkin orang ini masih bisa diselamatkan.
Namun, saat aku kembali bersama orang-orang, tubuh itu sudah tak ada! Keriuhan mulai mengalahkan debur pantai. Malam termenung tak mengerti seperti aku yang tak bisa menjelaskan ke mana sosok tubuh itu pergi. Beberapa nelayan mencebur ke air untuk mencari, kemungkinan tubuh itu kembali ditarik ombak. Beberapa yang lain menyusuri hamparan pasir, ada pula yang mengambil perahunya dan menyisir sepanjang garis pantai. Tapi tak ada hasil. Aku bingung. Aku telah menariknya ke hamparan pasir yang cukup jauh dari garis ombak. Tidak mungkin dia ditarik ombak lagi. Tak ada jejak ombak di sini. Ke mana dia?
Beberapa orang mulai mengira aku berhalusinasi. Karena ayahku pun ditemukan dengan cara yang sama, terdampar dan tertelungkup tak bernyawa setelah tiga hari tak kembali dari melaut. Dan aku telah menerima semua itu sebagai peraturan laut dalam menjalankan takdirnya. Aku mengerti dan aku menerima. Aku pun berterima kasih pada ombak yang setidaknya mengantar tubuh ayah kembali.
Masih dalam penasaranku yang belum terobati, aku berdiri menatap laut petang hari esoknya, di titik hamparan pasir aku meninggalkan pemuda itu kemarin. Menatapnya lekat. Berpikir dan menerka. Aku bertanya pada ombak, apakah ia membawa pemuda itu lagi. Aku bertanya pada laut, pada angin. Dan pada bintang biru di bawah purnama yang sudah beberapa hari ini muncul, menyita kekaguman orang sekampung akan kemunculan dan pesonanya  yang belum pernah ada sebelumnya.
Sesuatu mengusik perasaanku, seperti desir angin yang mendekat dan aku menoleh, lalu terkejut. Pemuda itu! Aku tergagap dan terbelalak saat melihatnya lagi! Secara ajaib entah kapan dimulai, ia telah berdiri tak jauh dariku, sedang menatapku! Dia masih mengenakan pakaian yang kemarin aku lihat. Tapi kini matanya terbuka. Menatap setajam purnama, tapi sejuk sinarnya terang, mendamaikan. Dia mendekat, aku tercekat.
***
Itulah awal pertemuanku dengan Gallaz, nama pemuda itu.
Suaranya seirama debur ombak yang tegas nan lembut dalam satu waktu bersama. Napasnya adalah sejuk angin darat di pantai malam. Ketenangan sikapnya bagai tenangnya samudera menyimpan sejuta rahasia kisah. Senyumnya adalah kelembutan mentari senja di antara kelam samudera. Dengan lesung pipi yang menjadi palung kedamaian di wajahnya, sinar matanya adalah cahaya purnama, dan bola matanya... adalah bintang biru di bawah purnama.
***
Malam-malam selanjutnya, Gallaz selalu menemui aku di sudut teluk dengan hamparan pasir putih ini. Dia tidak akan ada pada siang hari. Dia pergi, bertugas dan mencari teman-temannya. Apalah itu, aku tak mengerti.
Berbagai cerita, canda dan tawa berurai seluas hamparan laut tanpa batas. Mengalun kisah kebersamaan, terayun damai atau beriak bergejolak seperti ombak menggoda hamparan pasir. Aku merasa nyaman di dekatnya setiap malam. Aku tak lagi sendirian menikmati pantai petang hari hingga tengah malam menjelang. Aku tak lagi sekadar menghitung bintang gemintang, karena Gallaz menyusunkan rasi-rasi indah di langit malam. Deburan ombak tak lagi hanya irama, namun menjadi lagu semesta samudera. Angin bernyanyi, mengirim pesan dan salam sejuta rasa.
Waktu-waktu yang kulalui bersamanya menjadi kisah hamparan pasir dan debur ombak, disaksikan bintang-gemintang, disimak bulan, dan disebar oleh angin darat ke lautan antah berantah, untuk disimpan. Disimpan rapat dalam palung keabadian kisah samudera...
“Jangan, jangan ceritakan keberadaanku pada orang-orang di sini, Tika,”
“Mengapa?”
“Mereka tak boleh tahu. Dan andai pun mereka tahu, mereka tak akan mengerti,”
Aku mengerutkan kening, tak mengerti.
“Aku tak mengerti, Gallaz,”
“Cukup kamu saja yang tahu, karena kamu yang terlanjur pertama kali menemukanku. Aku terdampar, Tika. Aku sedang menuggu kabar teman-temanku yang lain karena kami tercerai-berai setelah kecelakaan pendaratan yang kami alami.”
“Lalu kamu akan pergi setelah kamu menemukan mereka?”
“Tentu saja. Kami dikirim ke sini untuk bertugas. Jika tugas selesai, maka kami akan ditarik kembali.”
Aku terdiam. Aku memang tahu, dia selalu mengatakan bahwa dia terdampar. Tapi mendengar dan mengetahui bahwa dia akan pergi, aku merasa sedih dan takut kehilangan... Aku seperti hamparan pasir yang disentuh ombak. Berlarian dan bercanda sejenak, tapi saat ombak harus ditarik kembali ke lautan, aku berlari balik mengejarnya, seolah ingin dibawa serta, tak ingin ditinggalkan begitu saja...
Malam berikutnya, Gallaz menemuiku dengan wajah yang tidak secerah biasanya. Ada yang membebaninya. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia ragu bagaimana mengatakannya. Dia menatapku, seperti sinar purnama yang kini muncul dan menjadi perpaduan indah bersama bintang biru itu. Telah satu masa purnama berlalu, dan bintang itu selalu berada di titik langit yang sama. Kini, saat purnama, ia seolah menggantung manis di bawah purnama.
Pada saat yang sama, aku melihat wajah Gallaz pias. Bimbang. Dia berpikir untuk beberapa saat, menatapku dalam, lalu tiba-tiba lengannya merengkuhku. Aku seperti lautan kesedihan dipeluk malam. Aku pun memeluknya erat. Dan entah bagaimana, aku merasakan gelombang yang selama ini terpendam.
“Aku tak seharusnya menemuimu lagi malam itu, Tika... Sungguh. Ini kesalahan yang menyeret kita berdua pada perasaan seperti lautan dan langit. Biru bersama saat siang, hitam berdua saat malam. Membadai bersama, tenang damai berdua. Tapi... langit tak akan pernah bersatu dengan lautan, Tika... tidak bisa... maafkan aku...”
Aku mulai mengerti arah pembicaraan ini...
“Teman-temanku sudah berkumpul, bahkan beberapa sudah datang menemuiku untuk menjemput. Sudah satu purnama berlalu, dan aku kehabisan alasan untuk bertahan di sini lebih lama lagi. Lagi pula, tempat ini mulai tidak aman untukku. Tugasku juga sudah selesai. Aku harus kembali sesuai perintah. Aku harus pergi...”
Aku terisak. Teluk ini menjadi terasa sesak, deburan ombak menjadi riak-riak yang serak. Angin berderak menerjang, menghantam relung-relung hati yang retak. Pecah, berhamburan...Dan aku tak bisa berkata apa-apa...
 “Tika, kamu lihat itu?” Kata Gallaz mengendurkan pelukan, lalu  menunjuk bintang biru di bawah purnama. Aku melihat ke arah yang ditunjuknya.
“Kalau suatu saat nanti kamu lihat bintang itu lagi, bintang biru di bawah purnama, pejamkan matamu dan bisikkan namaku. Aku akan datang menemui kamu di sini. Maaf, aku tidak bisa ceritakan semua yang sebenanya. Aku dan teman-temanku bersembunyi dari kalian...”
“Aku tidak mengerti...” aku berharap memiliki waktu lebih banyak dari ini untuk selalu bersamanya.
“Dan satu lagi. Aku baru menemukan sebuah kalimat yang bisa mewakili apa yang aku rasa selama ini...” Gallaz tetap melanjutkan kalimatnya, seolah terburu-buru...
“Gallaz....” potongku, namun Gallaz menatapku tajam.
Kami pun bertatapan. Arlojinya berkelip-kelip. Gallaz tahu itu, tapi seolah tak peduli. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menutup mata. Dadaku berdebar. Saat kurasa sesuatu yang begitu dekat di wajahku, lalu kudengar suara Gallaz yang bagai ketegasan dan kelembutan ombak pada saat yang bersamaan.
“Aku sayang kamu, Tika...”
Gallaz berjalan menjauh saat aku membuka mata. Lalu cahaya biru menyilaukan berpancar dari atas lautan dan menyinari Gallaz.
Ia menatapku lekat. Tatapan yang seperti purnama dengan cahayanya yang menyejukkan. Tapi aku melihat ada awan mendung pada purnama itu. Perlahan dengan tak kumengerti, sosok Gallaz memudar. Semakin memudar bersama pendar biru cahaya itu.
Tidak! Aku tidak bisa! Aku tidak ingin Gallaz pergi!
Dan saat aku berlari hendak memeluknya lagi, seperti hamparan pasir mengejar ombak yang surut... Gallaz telah lenyap dengan ajaib seperti diserap cahaya biru itu, lalu hilang. Pesisir kembali kelam.
Debur ombak surut terbawa arus. Hanya hamparan pasir sunyi tertinggal, angin berdesir dan mengencang, serta bintang yang menjadi saksi... Purnama terdiam menyimak, pandangan bijaknya menyinar samudera yang perlahan menyimpan kisah semestaku dalam palung kedamaian...
Aku bersimpuh, luruh. Saat air laut surut jauh. Hamparan pasir bergetar, aku tetap terpaku. Menatap kilau bintang biru di bawah purnama yang mulai meredup, lalu dengan cepat lenyap entah ke mana...
Kemudian gulungan ombak besar mendekatiku, tapi aku membeku. Kemudian, semua menjadi gelap saat air raksasa itu menerjangku. Aku sebutir pasir yang melayang diayun gelombang, terseret ombak, ingin ikut ke mana pun perjalanan arus laut...
***

Lamunanku pecah oleh panggilan halus bibi.
“Tika, masih mau menikmati pantai? Ini sudah malam, kan kamu harus ke Jakarta besok pagi,” katanya dengan sifat keibuannya.
Aku menoleh, “Ya, Bi. Maaf, Tika keasyikan. Hehehe...” jawabku dengan senyuman, lalu bangkit dan memeluk wanita yang telah merawatku bertahun-tahun itu.
Tiba-tiba, terlintas indahnya gemerlap Jakarta. Ya, sebuah perusahaan telah menerimaku sebagai pegawainya, dan  aku harus berangkat besok pagi, mulai bekerja. Aku akan meninggalkan teluk ini, dan tinggal di kota metropolitan. Entah kapan aku akan kembali. Satu purnama, dua purnama... Entahlah... Aku tak tahu berapa purnama yang akan kulewati, tak bisa aku nikmati di teluk ini. Aku tidak tahu pula, kapan purnama bersinar dan bintang biru itu muncul. Selama tiga tahun belakangan  ini, saat tiba waktu purnama bersinar, ia menatap bijak dan meminta maaf karena tak bersama bintang biru yang aku tunggu.
Lalu, aku dan bibi berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Aku berhenti sejenak, menoleh lagi ke langit barat yang berada tepat di depan teluk. Bibi tahu, aku tak ingin berpisah dengan langit itu dan pantai ini. Deburan ombaknya, desir anginnya, sunsetnya, bulannya, bintnag-bintangnya, suasana purnamanya.
“Bibi tahu, kamu akan sangat merindukan teluk ini, Sayang. Maka sering-seringlah pulang ya?” kata bibi sambil membelai rambutku.
Aku tersenyum padanya, “Dan Tika akan selalu merindukan belaian bibi, selalu,” lalu kami berjalan lagi. Aku menggenggam erat tangan bibi.
Ombak berdebur menggoda hamparan pasir, angin mengalun membawa kabar daratan. Kisahku disimak bintang, dan disimpan dalam samudera malam...
Suatu petang nanti, jika kau duduk pada hamparan pasir di sudut teluk ini saat purnama bersinar, dan tampak olehmu bintang biru di bawah purnama, maka pejamkan matamu dan panggillah Gallaz.
Jika saat kamu membuka mata, kamu menemukan seorang pemuda yang suaranya seirama debur ombak yang tegas dan lembut dalam waktu bersamaan, napasnya adalah sejuk angin darat di pantai malam, ketenangan sikapnya bagai tenangnya laut menyimpan sejuta rahasia kisah, senyumnya adalah kelembutan sunset senja di antara kelam samudera, dengan lesung pipi yang menjadi palung kedamaian di wajahnya, sinar matanya adalah cahaya purnama, dan bola matanya... adalah bintang biru di bawah purnama. Dan tentu saja, dengan pakaian keperakan dan arloji berkelap-kelip biru itu.
Maka, dia adalah Gallaz. Tolong katakan padanya bahwa aku, Kartika, masih menyayanginya. Aku masih menunggu kehadirannya, dan aku sangat merindukannya. Kemudian, kirimlah surat atau apa pun untuk memberi tahuku, bahwa Gallaz telah datang...